Ilusi Popularitas Konten Seksual: Mengapa Konten Ini Cepat Naik tapi Cepat Jatuh




Di era digital yang dipenuhi dengan berbagai jenis konten, satu hal yang sering menjadi sorotan adalah popularitas konten seksual di media sosial. Konten semacam ini sering kali lebih mudah menarik perhatian dibandingkan konten edukatif, tetapi di balik popularitas cepatnya, terdapat banyak masalah yang perlu kita sadari.


 Dominasi Konten Seksual di Media Sosial

Tidak dapat dipungkiri bahwa konten seksual lebih mudah ditemukan di media sosial. Entah itu melalui video singkat atau gambar provokatif, konten semacam ini sering kali lebih menarik perhatian dibandingkan dengan konten yang membutuhkan usaha lebih, seperti konten edukasi atau motivasi. Mengapa? Karena konten seksual menawarkan hiburan yang instan dan tidak membutuhkan perhatian mendalam dari penontonnya. Sementara konten edukasi memerlukan fokus dan waktu untuk benar-benar dipahami, konten seksual bisa dinikmati secara cepat tanpa perlu berpikir panjang.


 Usaha vs. Engagement: Konten Edukasi Kalah Pamor?

Salah satu fenomena yang kita lihat adalah bagaimana kreator konten edukasi sering kali menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan engagement (interaksi) yang layak. Membuat konten edukasi tidaklah mudah—diperlukan riset, penyusunan kata yang tepat, storytelling, hingga editing yang apik. Namun sayangnya, meskipun konten edukasi memiliki nilai yang tinggi, interaksi yang didapat sering kali lebih rendah dibandingkan dengan konten seksual, yang terkadang hanya membutuhkan sedikit usaha.

Video atau gambar provokatif mungkin tidak memerlukan riset mendalam atau waktu produksi yang lama, tetapi engagement yang diperoleh, seperti likes, views, dan komentar, bisa melonjak drastis dalam waktu singkat. Ini menciptakan ilusi bahwa konten seksual lebih ‘bernilai’ karena angkanya, padahal kualitas konten tidak selalu sebanding dengan angka tersebut.


 Neurosains di Balik Daya Tarik Konten Seksual

Ada alasan ilmiah mengapa konten seksual bisa begitu menarik. Ketika seseorang mengonsumsi konten erotis, neuron di otak mereka—khususnya bagian yang terkait dengan kesenangan, yaitu nukleus akumbens dan sistem limbik—teraktivasi. Ini memicu pelepasan dopamin, zat kimia di otak yang memberi sensasi bahagia. Akibatnya, orang cenderung mencari lebih banyak konten semacam ini untuk mendapatkan ‘dopamin rush’ yang sama. Sama seperti kecanduan lainnya, semakin sering orang terpapar konten seksual, semakin besar dorongan mereka untuk terus mencari konten yang serupa.


 Ilusi Popularitas dan Monetisasi: Apakah Itu Bernilai?

Popularitas konten seksual mungkin tampak menguntungkan di awal, tetapi apakah benar-benar membawa manfaat jangka panjang? Banyak kreator konten yang terjebak dalam ilusi ini. Mereka melihat jumlah followers dan likes meningkat, tetapi kenyataannya, audiens yang tertarik pada konten semacam ini biasanya tidak memiliki daya beli yang tinggi. Misalnya, produk yang dipromosikan oleh kreator konten seksual mungkin tidak mendapatkan konversi penjualan yang signifikan karena audiensnya kurang terlibat secara mendalam.

Sebagai contoh, endorsement dari produk-produk umum seperti aplikasi belanja mungkin menghasilkan sedikit keuntungan, tetapi ini tidak setara dengan engagement yang lebih mendalam dari audiens yang memang tertarik pada produk tersebut secara khusus. Akibatnya, meskipun angka engagement tinggi, monetisasi yang sebenarnya mungkin jauh lebih rendah.


 Karir Kreator Konten Seksual: Tidak Bertahan Lama?

Popularitas konten seksual biasanya bersifat sementara. Kreator yang mengandalkan konten semacam ini cenderung tidak memiliki karir yang bertahan lama, karena mereka menghadapi persaingan yang ketat dari kreator baru yang terus bermunculan. Tidak adanya inovasi dan kualitas konten yang lebih mendalam membuat popularitas mereka cepat memudar. Sebagai akibatnya, kreator yang hanya fokus pada konten seksual mungkin akan kesulitan untuk membangun karir jangka panjang yang stabil.


 Dampak Negatif pada Individu dan Masyarakat

Selain masalah bagi kreator, konsumsi berlebihan konten seksual juga berdampak negatif pada penonton. Terlalu banyak mengonsumsi konten semacam ini dapat menguras waktu berharga dan bahkan menyebabkan kecanduan. Dampak kecanduan ini dapat merusak kehidupan sehari-hari, termasuk hubungan pribadi dan kesehatan mental. Selain itu, konten seksual yang berlebihan juga dapat mendorong perilaku menyimpang, seperti perselingkuhan atau kekerasan, karena orang yang kecanduan pornografi cenderung kehilangan batasan dalam hal moral dan etika.


 Penurunan Harga Diri dan Nilai Sosial

Tidak hanya itu, banyak orang rela mengorbankan harga diri mereka demi mendapatkan popularitas di media sosial. Mereka membuat konten seksual atau provokatif demi mendapatkan perhatian dan validasi dalam bentuk likes atau views. Padahal, harga diri dan nilai-nilai kemanusiaan yang penting bisa terkikis oleh tindakan semacam ini.


 Kesimpulan: Apakah Popularitas Itu Berharga?

Pada akhirnya, popularitas yang diraih melalui konten seksual adalah ilusi. Meskipun konten ini mungkin cepat naik dan mendapatkan banyak perhatian, namun tidak memberikan fondasi yang kuat untuk karir kreator maupun dampak positif bagi penontonnya. Sebagai konsumen konten, penting bagi kita untuk lebih selektif dalam memilih apa yang kita konsumsi dan mendukung kreator yang menghasilkan konten berkualitas serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat.

Jika kita berhenti memberikan perhatian pada konten yang minim nilai, mungkin konten edukatif dan berkualitas akan mendapatkan tempat yang layak di media sosial. Saatnya kita mengubah kebiasaan menonton dan mulai menghargai konten yang benar-benar bermanfaat.