Mengapa Kita Cenderung Mengulang Kesalahan yang Sama?



Pernahkah kamu merasa sudah berjanji untuk tidak melakukan hal bodoh yang sama, tapi akhirnya tetap jatuh di lubang yang sama? Entah itu memilih pasangan dengan pola yang mirip, menunda pekerjaan sampai detik terakhir, atau menuruti emosi yang berujung penyesalan. Banyak orang berpikir bahwa mereka kurang disiplin atau lemah dalam mengendalikan diri. Padahal, ada penjelasan psikologis di balik kecenderungan manusia untuk mengulang kesalahan.

 1. Otak Suka yang Familiar

Salah satu alasan paling dasar adalah karena otak manusia menyukai hal yang familiar, bahkan ketika hal itu menyakitkan. Dalam penelitian oleh Neuroscience Institute of Princeton University, dijelaskan bahwa otak memiliki sistem kenyamanan yang terbentuk dari kebiasaan masa lalu. Hal yang sudah dikenal dianggap “aman”, sementara hal baru dianggap berisiko.

Artinya, meskipun kamu tahu kebiasaan itu buruk, otakmu tetap terdorong untuk melakukannya karena ia merasa nyaman di zona yang sudah dikenalnya. Misalnya, kamu tahu hubungan toksik itu melelahkan, tapi tetap kembali karena otakmu mengenali pola interaksi itu sebagai “normal”.

Untuk mulai keluar dari lingkaran ini, kamu perlu melatih otak agar terbiasa dengan rasa tidak nyaman dari perubahan kecil  seperti berani berkata tidak, jujur pada diri sendiri, atau membuat keputusan berbeda dari kebiasaan lama.

 2. Pola Emosi yang Belum Terselesaikan

Kita sering mengulang kesalahan karena emosi lama belum terselesaikan. Misalnya, seseorang yang pernah merasa tidak cukup dicintai di masa kecil, cenderung mencari pengakuan dari orang lain hingga rela berkorban berlebihan dalam hubungan dewasa.

Menurut psikolog Harville Hendrix, manusia punya kecenderungan tidak sadar untuk mencari pengalaman yang mirip dengan luka emosional masa lalu dengan harapan kali ini hasilnya berbeda. Ironisnya, hal itu sering berujung pada pola yang sama disakiti, kecewa, atau merasa tidak berdaya.

Jadi, sebelum memperbaiki perilaku, kamu perlu memahami akar emosinya. Tanyakan pada dirimu “Perasaan apa yang sebenarnya ingin aku sembuhkan lewat pilihan ini?” Kadang, menyadari motif tersembunyi sudah cukup untuk memutus siklus yang berulang.

 3. Keyakinan Diri yang Terbentuk dari Masa Lalu

Kesalahan yang berulang juga bisa disebabkan oleh  keyakinan diri yang keliru. Misalnya, kamu percaya bahwa “aku memang selalu gagal”, atau “aku tidak pantas mendapatkan yang lebih baik”. Keyakinan semacam ini disebut core belief, yang terbentuk dari pengalaman dan pengasuhan masa lalu.

Penelitian dari Cognitive Behavioral Therapy (CBT) menunjukkan bahwa pikiran dan keyakinan yang tidak rasional bisa memengaruhi tindakan tanpa disadari. Kalau kamu yakin bahwa setiap usaha akan gagal, kamu mungkin tidak benar-benar berusaha maksimal  dan ketika hasilnya gagal, keyakinanmu justru semakin kuat. Ini disebut self-fulfilling prophecy.

Untuk memutusnya, kamu perlu melatih kesadaran berpikir tangkap pikiran negatif ketika muncul, dan ubah narasinya menjadi lebih realistis. Alih-alih berkata “aku memang bodoh”, ubah menjadi “aku pernah melakukan kesalahan, tapi aku bisa belajar memperbaikinya.”

 4. Tidak Ada Refleksi Setelah Gagal

Kita semua pernah salah. Tapi yang membedakan orang yang belajar dari yang terus mengulang kesalahan adalah proses refleksi setelahnya. Banyak orang ingin segera melupakan kegagalannya tanpa memahami penyebabnya. Padahal, refleksi adalah kunci pembelajaran.

Sebuah studi di Harvard Business School menemukan bahwa orang yang meluangkan waktu untuk merenungkan pengalaman negatif memiliki peningkatan kinerja dan pengambilan keputusan yang lebih baik. Refleksi membantu otak menghubungkan sebab dan akibat, sehingga kesalahan yang sama lebih mudah dihindari di masa depan.

Cobalah membuat kebiasaan sederhana setiap kali kamu melakukan kesalahan, tulis tiga hal apa yang terjadi, apa yang bisa kamu kendalikan, dan apa yang akan kamu lakukan berbeda lain kali.

 5. Dorongan Emosi Sesaat Lebih Kuat dari Logika

Kamu mungkin tahu apa yang benar, tapi tetap memilih yang salah. Mengapa? Karena emosi bekerja lebih cepat daripada logika. Bagian otak bernama amygdala bertugas merespons emosi secara instan, sementara prefrontal cortex yang mengatur logika butuh waktu lebih lama untuk memproses.

Itulah mengapa kamu bisa berkata, “Aku tidak akan marah lagi,” tapi saat tersulut, amarah langsung meledak. Emosi selalu menang kalau kamu tidak punya jeda untuk berpikir.

Psikolog Daniel Goleman menyebut fenomena ini sebagai amygdala hijack  saat emosi mengambil alih kendali keputusan.

Solusinya bukan menekan emosi, tetapi melatih kesadaran sebelum bereaksi. Tarik napas dalam-dalam, beri jeda tiga detik, lalu tanyakan pada diri sendiri “Apakah ini akan membantu atau justru memperburuk keadaan?” Kebiasaan sederhana ini bisa mencegah banyak penyesalan.

 6. Lingkungan yang Tidak Mendukung Perubahan

Kamu tidak bisa berubah sepenuhnya jika terus berada di lingkungan yang memperkuat kebiasaan lama. Teman, rutinitas, bahkan suasana tempat kamu beraktivitas dapat memengaruhi pilihanmu secara halus. Misalnya, kamu ingin berhenti bergosip, tapi setiap kumpul teman selalu membicarakan orang lain pada akhirnya, kamu ikut terlibat lagi.

Dalam teori behavioral psychology, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Jadi, kalau kamu ingin berhenti mengulang kesalahan, ubahlah sistem di sekitarmu cari teman yang punya tujuan serupa, ubah rutinitas kecil, atau batasi akses pada hal-hal yang memicu perilaku lama.

Perubahan tidak selalu dimulai dari niat, kadang dimulai dari lingkungan yang memungkinkan niat itu tumbuh.

 7. Bagaimana cara mengatasinya

Sekarang, mari lihat beberapa langkah nyata yang bisa kamu mulai hari ini:

1. Sadari polanya.

   Tuliskan kesalahan yang sering terulang dan perhatikan polanya kapan, dengan siapa, dan dalam kondisi apa kamu biasanya melakukannya.

2. Kenali pemicunya.

   Apakah kesalahan itu muncul karena stres, rasa kesepian, atau keinginan untuk diterima? Semakin kamu mengenal pemicunya, semakin mudah kamu mengendalikannya.

3. Ubah kebiasaan kecil terlebih dahulu.

   Jangan langsung ingin mengubah segalanya. Mulailah dari satu langkah kecil yang konsisten, seperti mengganti reaksi otomatis dengan jeda berpikir.

4. Berlatih self-compassion.

   Jangan menghukum diri sendiri karena mengulang kesalahan. Rasa bersalah yang berlebihan justru membuat kamu takut mencoba lagi. Perlakukan dirimu seperti teman yang sedang belajar.

5. Cari dukungan.

   Berbicaralah dengan orang yang bisa memberikan perspektif objektif sahabat, mentor, atau konselor. Terkadang, mata dari luar bisa melihat pola yang tidak kamu sadari.


kesimpulanya...

Kesalahan adalah bagian alami dari proses belajar. Tapi jika kamu terus mengulang pola yang sama, itu tanda bahwa kamu belum benar-benar memahami pelajarannya. Kabar baiknya, otak manusia bisa berubah sebuah konsep yang disebut neuroplasticity. Artinya, setiap keputusan baru yang kamu ambil membentuk jalur saraf baru yang memperkuat perilaku baru pula. 

Jadi, jangan biarkan dirimu terjebak dalam lingkaran “aku memang begini.” Kamu tidak ditakdirkan untuk mengulang kesalahan; kamu hanya perlu belajar membaca ulang dirimu sendiri. Mulailah dari hari ini: sadari polanya, ubah langkah kecilnya, dan berikan dirimu kesempatan kedua untuk bertumbuh.

Posting Komentar untuk "Mengapa Kita Cenderung Mengulang Kesalahan yang Sama?"