Mengapa rasa takut akan kehilangan sering lebih terasa dibandingkan rasa bahagia?



Pernahkah kamu merasa lebih cemas saat hampir kehilangan sesuatu dibandingkan rasa bahagia saat mendapatkannya? Atau mungkin kamu lebih sering memikirkan kesalahan kecil dalam presentasi dibanding pujian yang kamu terima? Kalau iya, kamu tidak sendirian. Fenomena ini ternyata punya penjelasan ilmiah yang menarik, dan memahaminya bisa membantumu hidup lebih tenang dan penuh syukur.

 Otak Kita Dirancang untuk Bertahan Hidup, Bukan untuk Bahagia

Mari kita mulai dari fakta dasar otak manusia adalah produk evolusi yang panjang. Nenek moyang kita yang mampu mendeteksi ancaman dengan cepat—seperti suara gemerisik di semak-semak yang mungkin harimau—adalah mereka yang bertahan hidup dan menurunkan gen mereka. Sementara mereka yang terlalu santai dan sibuk menikmati pemandangan? Sayangnya, mereka menjadi santapan.

Inilah mengapa otak kita memiliki bias negatif (negativity bias) yang kuat. Penelitian dari psikolog Roy Baumeister menunjukkan bahwa dampak emosional dari pengalaman buruk sekitar 2-3 kali lebih kuat dibanding pengalaman baik. Artinya, kehilangan uang Rp100.000 akan terasa lebih menyakitkan daripada kebahagiaan mendapat Rp100.000.

 Loss Aversion - Takut Kehilangan itu Manusiawi

Dalam ilmu ekonomi perilaku, ada konsep yang disebut loss aversion atau keengganan terhadap kerugian. Daniel Kahneman dan Amos Tversky, dua psikolog pemenang Nobel, menemukan bahwa manusia merasakan kesedihan kehilangan sesuatu dua kali lebih intens dibanding kegembiraan mendapatkan hal yang setara.

Contoh sederhananya begini Bayangkan kamu punya tiket konser idola yang sudah kamu tunggu-tunggu. Kemudian tiket itu hilang. Rasa kehilangan yang kamu rasakan jauh lebih besar dibanding kegembiraan saat pertama kali mendapatkan tiket tersebut, padahal nilainya sama. Ini juga menjelaskan mengapa kamu lebih stres saat takut kehilangan pekerjaan dibanding bersyukur masih memilikinya, atau mengapa notifikasi "battery low" terasa lebih mendesak dibanding rasa lega saat baterai penuh.

 Adaptasi Hedonis - Kita Terlalu Cepat Terbiasa dengan yang Baik

Pernahkah kamu membeli gadget baru dan merasa sangat senang? Tapi beberapa minggu kemudian, kebahagiaan itu memudar dan gadget itu menjadi "biasa" saja? Ini yang disebut adaptasi hedonis atau hedonic adaptation. Penelitian menunjukkan bahwa manusia punya kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan keadaan positif. Yang awalnya istimewa, lama-kelamaan menjadi standar baru. Gaji naik? Bulan pertama senang, bulan ketiga sudah biasa. Punya rumah baru? Euforianya hanya bertahan beberapa bulan.

Sebaliknya, ancaman kehilangan selalu terasa segar dan mendesak karena otak kita terus-menerus memindai bahaya. Makanya rasa takut kehilangan tidak mengalami adaptasi seperti rasa syukur. Setiap kali kamu khawatir kehilangan sesuatu, rasanya tetap intens.

 Hidup di Era FOMO dan Perbandingan Sosial

Media sosial memperburuk situasi ini. Kamu melihat orang lain berlibur, dapat promosi, atau punya hubungan yang "sempurna." Tanpa sadar, kamu mulai membandingkan dan merasa seperti kehilangan sesuatu—padahal sebenarnya kamu tidak pernah memilikinya. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) membuat kita terus-menerus dalam mode kekurangan, bukan mode kecukupan. Penelitian dari University of Pennsylvania menemukan bahwa membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari dapat secara signifikan mengurangi perasaan kesepian dan depresi.

 Strategi yang bisa Anda lakukan

Kabar baiknya, kamu bisa melatih ulang otakmu. Pertama, praktikkan jurnal syukur harian. Setiap malam, tuliskan tiga hal spesifik yang kamu syukuri hari itu. Bukan sekadar "kesehatan" atau "keluarga," tapi hal konkret seperti "kopi pagi yang hangat" atau "teman yang mendengarkan keluhanku." Penelitian dari University of California menunjukkan praktik ini meningkatkan kebahagiaan hingga 25%.

Kedua, gunakan teknik savoring. Saat mengalami momen menyenangkan, berhentilah sejenak. Rasakan dengan kelima indera. Makan makanan favorit? Fokus pada rasanya. Dapat pujian? Resapi perasaan itu 10-15 detik. Ini memperlambat adaptasi hedonis dan membantumu mengapresiasi pengalaman positif lebih dalam.

Ketiga, praktik mindfulness atau kesadaran penuh. Meditasi mindfulness melatih otakmu untuk fokus pada saat ini, bukan khawatir tentang masa depan atau menyesali masa lalu. Cukup 10 menit sehari sudah terbukti mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa syukur.

Keempat, reframe perspektif kehilangan. Saat merasa takut kehilangan sesuatu, tanyakan pada dirimu: "Apa yang sebenarnya aku miliki sekarang?" Geser fokus dari apa yang bisa hilang ke apa yang sedang kamu nikmati. Kelima, batasi perbandingan sosial dengan mengurangi waktu scrolling media sosial. Saat melihat pencapaian orang lain, ingatkan dirimu bahwa kamu hanya melihat highlight reel mereka, bukan seluruh ceritanya.

 Mengubah Cara Pandang dari Scarcity ke Abundance

Yang paling penting adalah mengubah mindset dari scarcity mentality (mentalitas kekurangan) ke abundance mentality (mentalitas kelimpahan). Ini bukan berarti menjadi naif atau tidak realistis, tapi memilih untuk fokus pada apa yang kamu miliki, bukan apa yang tidak kamu miliki. Coba praktik ini Setiap kali kamu merasa cemas akan kehilangan sesuatu, berhenti dan katakan, "Saat ini, aku memiliki..." dan sebutkan lima hal konkret yang masih kamu miliki. Latihan sederhana ini mengaktifkan bagian otak yang bertanggung jawab untuk rasa syukur dan ketenangan.

kesimpulanya...

Ingat, merasa takut kehilangan adalah respons alamiah yang sudah tertanam dalam DNA kita. Kamu tidak bisa menghilangkannya sepenuhnya, dan itu tidak apa-apa. Yang bisa kamu lakukan adalah tidak membiarkan rasa takut itu mengambil alih hidupmu. Dengan memahami cara kerja otakmu dan melatihnya secara konsisten, kamu bisa menyeimbangkan bias negatif tersebut dengan praktik syukur yang disengaja. Lambat laun, kamu akan menemukan bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang bisa hilang, tapi tentang kekayaan yang sudah ada di hadapanmu jika kamu mau melihatnya.

Sekarang giliranmu Coba praktik jurnal syukur malam ini. Tuliskan tiga hal spesifik yang kamu syukuri hari ini, tidak peduli sesederhana apa pun. Lalu bagikan di kolom komentar pengalaman apa yang paling membuatmu bersyukur hari ini? Mari kita saling mengingatkan untuk lebih fokus pada yang kita miliki, bukan yang kita takutkan untuk hilang.