Mengapa Banyak Orang Sulit Berdamai dengan Masa Lalu?



Setiap orang punya masa lalu. Ada yang menyimpannya sebagai kenangan hangat, ada pula yang menjadikannya beban yang tak kunjung selesai. Mungkin kamu pernah mencoba melupakan seseorang, peristiwa, atau keputusan yang terasa pahit, tapi setiap kali teringat, rasa itu muncul lagi seperti luka lama yang belum sembuh. Pertanyaannya, mengapa begitu sulit bagi banyak orang untuk benar-benar berdamai dengan masa lalu?

 1. Luka Emosional yang Tidak Pernah Diakui

Salah satu alasan utama seseorang sulit move on adalah karena luka batin yang tidak diakui sepenuhnya. Banyak orang memilih untuk mengabaikan rasa sakit dengan berpura-pura kuat. Padahal, menurut penelitian dari University of Texas, menekan emosi justru memperpanjang penderitaan karena otak terus “memutar ulang” pengalaman yang belum terselesaikan.

Contohnya sederhana ketika kamu berkata, “Aku sudah lupa kok,” tapi setiap kali mendengar nama atau tempat tertentu, dadamu langsung terasa sesak itu tanda bahwa emosimu belum benar-benar tuntas.

Untuk bisa berdamai, langkah pertama bukan melupakan, melainkan mengakui bahwa luka itu memang ada. Dengan begitu, kamu memberi izin pada diri sendiri untuk mulai sembuh.

 2. Pola Pikiran Negatif yang Mengikat

Masa lalu sering kali tidak menghantui kita karena kejadian itu sendiri, tetapi karena cara kita memaknainya. Psikolog kognitif menyebut ini sebagai rumination, yaitu kebiasaan memutar ulang peristiwa dengan fokus pada penyesalan, bukan pembelajaran.

Misalnya, kamu terus berpikir, “Seandainya dulu aku tidak melakukan itu…” atau “Kenapa aku begitu bodoh waktu itu?” Pola pikir seperti ini membuat otak terus mengaitkan masa lalu dengan rasa bersalah. Padahal, tidak ada ruang bagi penyembuhan ketika pikiran hanya berputar di lingkaran yang sama.

Sebaliknya, kamu bisa mencoba mengubah pertanyaan menjadi, “Apa yang bisa aku pelajari dari peristiwa itu?” Pertanyaan ini kecil, tapi efeknya besar. Ia menggeser posisi kamu dari korban masa lalu menjadi seseorang yang sedang bertumbuh karenanya.

 3. Identitas Diri yang Terikat pada Masa Lalu

Sebagian orang sulit berdamai bukan karena tidak mau, tetapi karena tanpa sadar mereka menjadikan masa lalu sebagai bagian dari identitasnya. Misalnya, seseorang yang pernah gagal dalam hubungan merasa dirinya “tidak layak dicintai.” Atau orang yang pernah ditinggalkan berpikir bahwa semua orang pada akhirnya akan pergi.

Menurut teori Self-Concept dari Carl Rogers, manusia cenderung mempertahankan pandangan tentang dirinya, bahkan jika itu menyakitkan, karena rasa “kenal” terhadap pola itu terasa lebih aman daripada berubah.

Masalahnya, ketika kamu terus mengikat diri pada narasi lama (“aku korban”, “aku gagal”), kamu tidak memberi ruang bagi versi dirimu yang baru untuk muncul.

Melepaskan bukan berarti menghapus masa lalu, melainkan memilih untuk tidak terus menjadikannya cermin utama dalam melihat diri sendiri.

 4. Kurangnya Dukungan Sosial dan Lingkungan yang Tepat

Masa lalu yang berat sering kali membutuhkan proses penyembuhan yang tidak bisa dijalani sendirian. Namun, tidak semua orang punya lingkungan yang mendukung. Kadang, orang sekitar justru berkata, “Sudahlah, lupakan aja,” yang terdengar ringan, tapi bisa membuat kamu merasa tidak dipahami.

Penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa dukungan sosial berperan besar dalam proses emotional recovery. Berbagi cerita dengan orang yang empatik entah sahabat, keluarga, atau terapis membantu otak memproses pengalaman traumatis dengan lebih sehat.

Jadi, kalau kamu merasa terjebak dalam masa lalu, cobalah membuka diri pada orang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi. Kadang, mendengarkan dirimu sendiri lewat cerita yang kamu sampaikan, adalah awal dari kelegaan yang selama ini kamu cari.

 5. Ketakutan Akan Kehidupan Tanpa “Cerita Lama”

Ada hal menarik sebagian orang ternyata tidak ingin sepenuhnya sembuh. Kedengarannya aneh, tapi ini nyata. Rasa sakit dari masa lalu terkadang menjadi bagian dari eksistensi diri  seperti perban yang sudah melekat begitu lama sampai kamu takut membayangkan hidup tanpanya.

Dalam psikologi disebut secondary gain, yaitu manfaat tersembunyi dari mempertahankan luka. Misalnya, kamu tetap menyimpan rasa sakit karena itu membuatmu merasa memiliki alasan untuk tidak mencoba lagi, tidak percaya lagi, atau tidak mencintai lagi.

Namun, hidup yang tumbuh butuh keberanian untuk kehilangan kenyamanan dari cerita lama. Kamu mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tapi kamu bisa memilih makna baru darinya dan makna itu yang akan menentukan arah langkahmu selanjutnya.

 6. Cara berdamai dengan masa lalu

Sekarang, mari beralih ke langkah konkret. Berdamai dengan masa lalu bukan proses instan, tapi ada cara-cara realistis yang bisa kamu mulai hari ini:

1. Tulis ulang ceritamu.

   Buat jurnal tentang apa yang terjadi, tapi akhiri setiap cerita dengan satu kalimat reflektif “Apa yang aku pelajari dari ini?” Menulis membantu otak mengorganisasi emosi dan menumbuhkan rasa kontrol.

2. Berhenti menyalahkan diri sendiri.

   Ingat, keputusan di masa lalu dibuat dengan pengetahuan dan kondisi saat itu. Kamu bukan orang yang sama lagi hari ini.

3. Praktikkan self-compassion.

   Saat memori lama muncul, katakan pada diri sendiri, “Aku sedang belajar, dan itu wajar.” Suara lembut pada diri sendiri lebih menyembuhkan daripada kritik keras yang tak berujung.

4. Bangun kebiasaan baru.

   Setiap kebiasaan baru menciptakan memori baru. Isi harimu dengan hal yang membuatmu hidup di masa kini  belajar, berolahraga, berkarya, atau sekadar berbincang dengan orang yang kamu percaya.

5. Meminta bantuan yang paling ahli.

   Kadang, luka emosional lebih kompleks dari yang kita sadari. Terapis atau konselor bisa menjadi pendamping yang objektif dan aman untuk menavigasi perjalanan ini.

 7. Berdamai Bukan Berarti Melupakan

Ada kesalahpahaman bahwa berdamai berarti melupakan. Padahal, tidak. Berdamai justru berarti mengingat tanpa lagi merasa terbelenggu. Kamu masih tahu bahwa peristiwa itu terjadi, tapi kini kamu bisa menatapnya dengan mata yang berbeda  dengan pemahaman, bukan penyesalan.

Proses ini mirip seperti menutup luka bekasnya mungkin tetap ada, tapi ia tidak lagi sakit saat disentuh. Justru bekas itulah bukti bahwa kamu pernah terluka dan berhasil sembuh.


kesimpulanya...

Setiap orang punya masa lalu, tapi tidak semua orang memberi masa lalunya kekuasaan untuk mengendalikan masa depan. Berdamai bukan tentang menghapus kenangan lama, melainkan menulis kenangan baru dengan tinta yang lebih bagus.

Kamu mungkin tidak bisa memilih apa yang pernah terjadi, tapi kamu bisa memilih bagaimana kamu akan hidup setelahnya. Mulailah hari ini, perlahan tapi pasti.

Dan kalau kamu ingin berbagi pengalaman atau refleksi, tulislah di kolom komentar. Siapa tahu, ceritamu bisa menjadi penguat bagi seseorang yang juga sedang berjuang untuk berdamai dengan masa lalunya.

Posting Komentar untuk "Mengapa Banyak Orang Sulit Berdamai dengan Masa Lalu?"